ADSENSE Link Ads 200 x 90
ADSENSE 336 x 280
Di area terpencil di selatan Malawi, anak-anak gadis lumrah dipaksa berhubungan seks dengan seorang pekerja seks yang disebut ‘hyena’ ketika mereka mencapai pubertas.
- Di Daerah ini Mayat Bisa Berjalan Sendiri-Bahkan Diperlakukan Layaknya Manusia Hidup
- Biadab! Para Wanita Rohingya Diperkosa Hingga Berkali - Kali Oleh Para Militer Myanmar
Tindakan ini tidak dianggap sebagai pemerkosaan oleh tetua adat, namun sebagai bentuk ritual ‘pembersihan’. Tetapi, seperti dilaporkan Ed Butler, hal ini memiliki potensi sebaliknya, bukan pembersihan tapi sebuah cara menyebarkan penyakit.
Saya bertemu Eric Aniva di halaman gubuknya yang berdebu di kawasan Nsanje di selatan Malawi. Beberapa kambing dan ayam tampak makan kotoran di luar.
Mengenakan baju hijau yang kotor, dan berjalan pincang (salah satu kakinya timpang sejak lahir katanya), dia menyambut saya dengan antusias. Dia sepertinya senang dengan perhatian media.
Aniva dianggap sebagai ‘hyena’ terbaik di kampung. Gelar adat itu diberikan ke seorang pria yang dibayar oleh beberapa komunitas di bagian terpencil di selatan Malawi untuk memberikan yang disebut dengan ‘pembersihan’ seksual.
Jika seorang pria meninggal, misalnya, maka menurut tradisi istrinya wajib tidur dengan Aniva sebelum dia dapat mengubur suaminya. Jika seorang wanita mengalami aborsi, pembersihan seksual juga wajib dilakukan.
Dan yang paling mengejutkan, di Nsanje ini, remaja perempuan setelah mendapatkan menstruasi pertama mereka, dipaksa berhubungan seks hingga tiga hari, untuk menandai peralihan dari masa anak-anak ke wanita dewasa.
Jika mereka menolak, dipercaya bahwa penyakit atau kemalangan yang fatal dapat terjadi di keluarga mereka atau bahkan di seluruh kampung.
"Kebanyakan yang saya pernah tiduri adalah remaja putri, anak perempuan yang masih bersekolah," Aniva bercerita ke saya.
"Beberapa anak masih berusia 12 atau 13 tahun, namun saya lebih suka yang lebih tua. Semua anak perempuan ini senang jika saya menjadi hyena mereka. Mereka sesungguhnya bangga dan menceritakan ke orang lain jika lelaki ini adalah lelaki sejati, dia tahu bagaimana menyenangkan seorang wanita.”
Terlepas dari perkataannya yang menyombong, beberapa anak yang saya temui di kampung terdekat memperlihatkan kejijikan atas siksaan yang harus mereka lewati.
"Tidak ada lagi yang dapat saya perbuat. Saya harus melakukannya demi orangtua saya,” seorang gadis, Maria, berkata kepada saya. "Jika saya menolak, anggota keluarga saya dapat terkena penyakit –bahkan mati– sehingga saya pun takut."
Mereka mengaku semua teman-teman perempuan mereka dipaksa berhubungan seksual dengan seorang hyena.
Aniva sepertinya berusia 40an (dia tidak pernah jelas dengan usianya) dan sekarang memiliki dua istri yang tahu persis apa yang dia kerjakan.
Dia mengklaim telah tidur dengan 104 wanita dan gadis –meski jumlah yang sama dia sebutkan di harian lokal pada 2012, saya merasa dia sudah tidak menghitung lagi sejak lama.
Aniva memiliki lima anak yang diketahuinya – dia tak yakin berapa banyak wanita dan gadis telah hamil dibuatnya.
Dia berkata dia salah satu dari 10 hyena di komunitas ini dan setiap kampung di kawasan Nsanje memiliki hyena. Mereka dibayar dari US$4 (Rp 52.000) hingga US$7 (Rp 92.000) setiap kali.
Berjarak satu jam perjalanan, saya dikenalkan dengan Fagisi, Chrissie dan Phelia, wanita berusia 50 tahunan sebagai penjaga tradisi ini dilaksanakan di kampung mereka.
Tugas mereka adalah mengumpulkan gadis remaja di kamp-kamp setiap tahunnya, mengajarkan mereka akan tugas mereka sebagai istri dan bagaimana menyenangkan seorang pria secara seksual.
‘Pembersihan seksual’ dengan seorang hyena adalah tahapan terakhir proses ini, disusun dengan sukarela oleh para orangtua. Ini diperlukan, jelas Fagisi, Chrissie, dan Phelia, ‘agar orang tua dan komunitas mereka tak terjangkit penyakit’.
Saya menjelaskan ke mereka jika ada risiko yang lebih besar jika ‘pembersihan’ ini dapat menyebarkan penyakit. Sesuai adat, seks dengan hyena tidak boleh diproteksi dengan penggunaan kondom. Tetapi mereka berkata seorang hyena dipilih karena moralnya yang baik oleh karena itu tidak mungkin terinfeksi HIV/Aids.
Jelas sekali, dengan tugas-tugas seorang hyena, HIV adalah risiko besar untuk suatu komunitas. Menurut estimasi PBB satu diantara 10 penduduk Malawi membawa virus HIV, jadi saya menanyakan Aniva apakah dia HIV-positif.
Dia mengejutkan saya saat dia berkata ya – dan dia tidak menyebutkan hal ini ke orang tua gadis ketika mereka mempekerjakan dia.
Saat kami melanjutkan pembicaraan, Aniva melihat saya tidak kagum. Dia pun berhenti menyombong dan mengaku dia sudah mengurangi pembersihan dibanding sebelumnya
“Saya kadang-kadang masih melakukan ritual,” dia mengaku. Kemudian dia berkata: “Saya berhenti sekarang.”
Semua yang terlibat di ritual ini sadar jika adat ini dikutuk orang luar – bukan saja di gereja, tapi juga oleh LSM dan pemerintah, yang telah meluncurkan kampanye menentang hal ini yang disebut ‘praktik-praktik budaya yang berbahaya”.
"Kami tidak akan mengutuk orang-orangnya," kata Dr May Shaba, sekretaris Kementerian Gender dan Kesejahteraaan. "Namun kami akan memberikan mereka informasi yang mereka butuhkan untuk mengubah ritual mereka.”
Saya diberi tahu bahwa para orangtua yang lebih berpendidikan mungkin sudah memilih untuk tidak mempekerjakan seorang hyena. Namun tetua wanita yang saya wawancara tetap menentang.
"Tidak ada yang salah dengan budaya kami," Chrissie berkata. "Jika kamu melihat masyarakat saat ini, kamu dapat melihat anak-anak gadis tidak bertanggung jawab, jadi kami harus melatih anak-anak gadis kami kelakuan yang baik di kampung sehingga mereka tidak melenceng, menjadi istri yang baik sehingga suaminya puas, dengan demikian tidak ada hal buruk yang terjadi ke keluarga mereka.“
Menurut Pendeta Clause Boucher, seorang pastor katolik keturunan Prancis yang tinggal di Malawi selama 50 tahun dan saat ini seorang antropolog unggulan, ritual ini ada sejak beberapa abad lalu dan berasal dari kepercayaan kuno bahwa anak-anak butuh dialihkan ke ‘babak’ kedewasaan dengan tindakan seksual.
Di masa lampau, ketika remaja perempuan baru mencapai masa pubertasnya di usia 15 atau 16 tahun, hal ini akan dilakukan oleh calon suami mereka.
Sekarang lebih mungkin dilakukan oleh seorang pekerja seks bayaran, seorang hyena, dan tidak ada rasa malu yang melekat terhadap tindakan itu.
Pendeta Boucher menunjukkan usaha-usaha untuk mengubah seksualisasi anak-anak ini telah ditolak di area terpencil di bagian selatan, meski agama Kristen sudah masuk di daerah itu lebih dari seabad lamanya dan Aids yang mewabah selama 30 tahun.
Di sebagian besar negara ini khususnya di area yang dekat dengan kota Blantyre dan Lilongwe– ‘pembersihan seksual’ jarang sekali dilakukan.
Di kawasan Dedza di pusat Malawi, hyena hanya dipakai untuk menerima janda atau wanita mandul masuk komunitas, namun Kepala Tertinggi Theresa Kachindamoto -sosok kepala wanita yang langka di Malawi– telah membuat perjuangan menentang tradisi ini prioritas pribadinya.
Dia berusaha membangkitkan kepala-kepala daerah lainnya untuk membuat usaha serupa.
Di beberapa kawasan seperti Mangochi di bagian timur, upacara adat diadaptasi untuk menggantikan seks dengan mengurapi si anak gadis.
Di Nsanje, hanya ada sedikit usaha untuk melakukan perubahan. Malawi adalah salah satu negara termiskin di dunia dan kerap dilaporkan mengalami kelaparan, sehingga hal ini bukanlah prioritas kebijakan pemerintah.
Di sebuah desa terpencil, saya bertemu salah seorang dari dua istri Aniva, Fanny, bersama anak bayinya yang paling bungsu. Fanny tadinya seorang janda sebelum ‘dibersihkan’ Aniva dengan seks. Mereka menikah tak lama kemudian.
Hubungan mereka terlihat tegang. Duduk di sampingnya, dia mengaku dengan malu-malu bahwa dia benci apa yang dia lakukan namun itu membawa penghasilan yang dibutuhkan.
Saya tanya apakah dia berharap balitanya yang berusia dua tahun akan melakukan ritual sekitar 10 tahun dari sekarang.
"Saya tidak mau itu terjadi," dia berkata. "Saya ingin tradisi ini berhenti. Kami dipaksa tidur dengan hyena. Ini di luar kehendak kami dan saya pikir ini sangat menyedihkan bagi kami para perempuan.”
"Kamu benci ketika ini dilakukan kepada kamu?" Saya bertanya.
"Saya masih membencinya hingga sekarang."
Ketika saya juga menanyakan Aniva apakah dia ingin anak perempuannya menjalani pembersihan seksual nantinya, dia kembali mengejutkan saya.
"Tidak anak saya. Saya tidak mengizinkan ini terjadi. Sekarang saya berjuang untuk menghentikan malapraktik ini.”
"Jadi, kamu berjuang menentang ini tapi kamu sendiri masih melakukannya?" Saya bertanya.
"Tidak, seperti yang saya katakan, saya berhenti sekarang."
"Sungguh?"
"Tentu saja. Sungguh, saya telah berhenti."
Tindakan ini tidak dianggap sebagai pemerkosaan oleh tetua adat, namun sebagai bentuk ritual ‘pembersihan’.
BalasHapusLukQQ
Situs Ceme Online
Agen DominoQQ Terbaik
Bandar Poker Indonesia